Senin, 21 Maret 2016

SITUS KABUYUTAN TARUMANAGARA


 

SITUS KABUYUTAN KERAJAAN TARUMANAGARA

Kiriman : Yudi Kusmayadi.
         Judul tulisan ini bagi sebagian orang sudah tidak asing lagi, bahkan mungkin basi, karena hampir sebagian besar sudah mengenal Kerajaan Tarumanagara yang merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia yang berdiri tahun 358 - 669. Tidak ada yang aneh baik dari isi tulisannya maupun gambar-gambarnya ataupun sesuatu hal-hal yang baru tentang apa yang ditinggalkan dari peninggalan Kerajaan Tarumanagara. Tetapi walaupun demikian, tidak ada salahnya bagi kita untuk mengingat kembali Pelajaran Sejarah kita tentang kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang pernah ada di negara tercinta kita Indonesia. Dan ternyata, ketika melihat dan mengunjungi obyek situs bersejarah, seperti mengunjungi situs peninggalan Kerajaan Tarumanagara yaitu : Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi maupun Prasasti Muara Cianten, sungguh sangat mengasyikan dan menyenangkan, selain menambah wawasan ilmu pengetahuan kita tentang sejarah peradaban bangsa kita yang ternyata dimasa lalu peradaban bangsa kita telah menghasilkan maha karya yang sangat gilang-gemilang.                     
Ketika saya berkunjung ke Kampung Muara Desa Ciaruteun Hilir Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor pada hari Kamis tanggal 18 Desember 2014, di Kampung Muara tersebut ada 3 prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara yaitu ; Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi dan Prasasti Muara Cianten. Tetapi Prasasti Muara Cianten tidak bisa dilihat karena berada di dalam sungai yang kebetulan air Sungai Ciaruteun sedang besar, karena sedang musim penghujan. Dan satu lagi peninggalan masa pra sejarah yaitu Prasasti Batu Dakon yang berupa menhir atau tugu batu dan dua buah dolmen atau meja batu yang berlobang seperti lobang-lobang dalam permainan congklak.
Tulisan saya ini bukanlah hendak membahas tentang apa yang telah dibahas oleh para ahli sejarah, apa lagi hal ini menyangkut Kerajaan Tarumanagara yang merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia. Apa lagi Sejarah Kerajaan Tarumanagara telah merupakan bagian dari isi Pembelajaran Sejarah yang dimulai dari tingkat pendidikan dasar sampai ke tingkat pendidikan tinggi. Saya hanya berusaha untuk sekedar mengingatkan kembali kepada semuanya, bahwa di daerah  Jawa Barat ada  peradaban tua yang harus kita pelihara dan kita lestarikan bersama peninggalannya untuk anak cucu kita dimasa yang akan datang, agar anak cucu kita tidak kehilangan kebesaran para leluhurnya dan supaya anak cucu kita bisa belajar, memahami dan menghargai hasil karya-karya besar yang gilang-gemilang dari para pendahulunya. Tetapi lebih merupakan suatu keheranan bagi saya tentang situs peninggalan dari Kerajaan Tarumanagara, terutama dilihat dari segi pemeliharaan situsnya yang saya lihat sangat jauh sekali dari pemeliharaan yang maksimal, terutama dari pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bagian Dinas Kepurbakalaan. Sungguh sangat disayangkan. Alangkah baiknya Prasasti Ciaruteun dan Kebon Kopi itu diberi pagar di dekat batunya agar tidak terlalu sering dipegang atau diraba oleh tangan, terlalu sering dipegang dan diraba oleh tangan lambat laun permukaan batu prasasti itu akan rusak, karena bagaimanapun juga telapak tangan itu mengeluarkan keringat yang mengandung kadar keasaman yang tinggi, sehingga bisa menghancurkan permukaan batu yang ada tulisannya. Terlebih lagi kepada yang ditugaskan untuk menjaga warisan bangsa tersebut, supaya lebih diperhatikan lagi kesejahteraannya, bukan hanya tenaganya saja.  Kalau sudah rusak tinggalah penyesalan yang tidak berguna. Apa lagi Prasasti Kebon Kopi yang lokasinya di halaman SD Muara, yang para siswanya masih anak-anak belum mengerti betul tentang arti peninggalan sebuah prasasti. Kemudian kapan Prasasti Muara Cianten bisa diangkat dari dalam sungai ? Nanti kalau Prasasti Cianten itu sudah menjadi serbuk pasir ? Padahal jaman sekarang semua peralatan berat dengan kemajuan teknologi tidak ada yang tidak mungkin dan mustahil seberat apapun batu itu dan sesulit apapun bisa diusahakan untuk diangkat. Bagaimana nih para pemangku kebijakan pendidikan dan kebudayaan aksi nyatanya yang akan dilakukan ? Bukan cuma urusan proyek uang saja yang bisa dilakukan ! Apapun caranya Prasasti Muara Cianten harus cepat diselamatkan ! Padahal Situs Kabuyutan Tarumanagara tersebut meninggalkan Prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi dan Muara Cianten yang merupakan cikal bakal “tulisan wiwitan” bagi Bangsa Indonesia umumnya dan khususnya bagi orang Sunda untuk pertama kalinya bisa menulis dan membaca serta mendokumentasikan segala peristiwa kehidupannya kedalam bentuk tulisan. Orang kalau punya hal yang sangat  istimewa untuk  pertama kalinya, maka akan dipelihara sebaik-baiknya, karena merupakan moment yang sangat penting dalam kehidupannya. Apa lagi ini merupakan cikal bakal tulisan dimana Bangsa Indonesia telah memulai dan memasuki jaman melek aksara/huruf, sehingga mampu menuliskan berbagai peristiwa kehidupan yang sangat penting kedalam bentuk suatu dokumen bersejarah untuk diinformasikan agar diketahui oleh anak cucunya dikemudian hari, bahwa para founding fathers leluhur bangsa kita telah mampu memberikan pijakan dasar yang kuat untuk generasi berikutnya mengenai cara kehidupan bermasyarakat, bernegara, berkebudayaan dan berperadaban. Juga telah mampu memberikan informasi peristiwa kehidupannya yang bersejarah untuk diketahui, dipelajari, diteladani, direnungkan, dipikirkan, disikapi, dimaknai, diimplementasikan, disosialisasikan dan dilaksanakan bagaimana caranya memecahkan suatu persoalan dengan bijaksana dan adil, serta mempunyai kewibawaan dari penguasanya dan dengan tingkat loyalitas masyarakatnya yang tinggi terhadap pemimpinya tanpa meninggalkan kebebasan ketertiban yang sudah terbina dan tertata rapi. Sehingga untuk kita yang hidup dimasa kini harus banyak belajar dari leluhur kita tentang bagaimana cara hidup bermasyarakat dan bernegara yang baik dan bertanggung jawab tanpa saling rasa curiga dan permusuhan, tetapi penuh dengan kedamaian dan harmonisasi serta menghasilkan karya nyata yang berguna dan gemilang. Sikap gotong-royong, kerja sama, ketaatan terhadap hukum, tanggung-jawab dan berbagai bentuk kehidupan moralitas sosial lainya yang kesemuanya diabdikan untuk suksesnya komunitas kehidupan leluhur kita melalui terbentuknya sebuah tatanan politik berupa sebuah negara atau kerajaan. Dan ini harus kita tiru dan patut untuk dicontoh oleh kita yang hidup di masa sekarang demi kemajuan bersama sebagai suatu bangsa yang beradab. Sebab bila melihat dari kehidupan masyarakat kita sekarang, rasanya kita kembali ke jaman jahiliyah yang penuh dengan perbuatan intrik kehidupan barbarisme dan kanibalisme dalam berbagai bidang kehidupan. Sadar atau tidak, bahwa pada kenyataanya perbuatan kita bila dibandingkan dengan kehidupan mereka dulu, perbuatan kita sekarang banyak yang tidak didasari oleh akal pemikiran yang sehat. Pada hal katanya, kita  mengaku sebagai manusia modern, tetapi modern dalam bentuk materi bukan dalam bentuk moralitas. Justru leluhur kitalah moralitasnya lebih modern dari kita, baik dari visi, misi maupun tujuannya kehidupannya. Dari situlah kita harus belajar banyak. Dan karena itu belajar sejarah merupakan satu keharusan untuk kita, karena sejarah menyajikan fakta dan data peristiwa kehidupan manusia dimasa lalu, dimana baik-buruk, benar-salah sudah jelas tergambar dan terekam, tinggal kita memilih dan memilahnya mana yang akan kita gunakan dan kita pilih. Dan sejarah juga mempunyai maksud, fungsi dan tujuan yang diantaranya salah satu fungsi sejarah yaitu memberikan arahan yang benar agar kejadian yang salah tidak terulang kembali (Ismaun;Mengerti Sejarah). Karenanya mengapa kita harus belajar dari sejarah, karena sejarah merupakan guru dalam kehidupan, agar kita tidak mengulangi kesalahan lagi dimasa yang akan datang dengan bercermin dari kejadian dimasa yang lalu. Sangat tepat bila Bung Karno mengatakan, bahwa kita jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Bila saya lihat dan mengamati keadaan tofografi Kampung Muara yang dulunya bernama Kampung Korodok menurut Bapak Atma selaku pengurus ke empat prasasti itu, terlihat jelas Kampung Muara yang berada di ujung pertemuan Sungai Ciampea dengan Sungai Ciaruteun, keadaan topografi daerahnya yang mendatar dan memanjang segi tiga, sangat cocok untuk membuat semacam perkampungan terutama untuk membuat perkampungan adat semacam perkampungan adat Cipta Gelar di Sukabumi, Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis, Kampung Dukuh di Garut dan masih banyak lagi kampung adat lainnya yang ada di Tatar Pasundan. Bahkan kalau dilihat, Kampung Muara hampir persis sama dengan lokasi Karang Kamulyan di Cisaga Kabupaten Ciamis tempat dimana bertemunya Sungai Citanduy dengan Sungai Cimuntur. Tempat Ciung Wanara atau Sang Manarah. Dari persamaan tempat tersebut, kiranya dapat mengajukan suatu pertanyaan. Mengapa harus ada pola persamaan antara Karang Kamulyan yang berada di Tatar Pasundan Timur dengan Kampung Muara yang berada di Tatar Pasundan Barat dan kebetulan kedua tempat tersebut merupakan situs bersejarah ? Padahal kedua situs tersebut mempunyai jarak waktu dan tempat yang cukup jauh. Situs Kabuyutan Tarumanagara sekitar abad ke 5, sedangkan Situs Kabuyutan Karang Kamulyan sekitar abad ke 8. Sebenarnya ketika para penguasa membuat tempat kabuyutan tersebut mempunyai visi, misi dan tujuan apa, sehingga dipilihlah tempat seperti itu ? Apakah semata-mata karena dikedua tempat tersebut karena ada dua sungai besar bertemu, dimana di daerah itu ada air yang melimpah ruah, karena air merupakan sumber kehidupan ?(Teori challenge and respons dari Arnold Toynbe). Apakah dipilihnya kedua tempat itu juga semata-mata karena kemudahan sarana transfortasi untuk kepentingan ekonomi disebabkan ada aliran sungai besar ? Apakah dipilihnya tempat tersebut dilihat dari sudut pandang politik sebagai daerah yang aman untuk mengembangkan kekuasaan pemerintahan atau untuk lebih memudahkan melarikan diri kalau kerajaan diserang musuh karena ada sungai besar  atau justru sungai itu dilihat sebagai benteng pertahanan ? Atau dilihat dari kajian Arsitektur Budaya supaya lebih mudah membuat semacam Bumi Ageung tempat tinggal para penguasa/raja dan keluarganya  memerintah, juga karena daerahnya datar/rata itu menyediakan lahan perumahan bagi rakyatnya agar selalu dekat dengan rajanya ?(Diar Risdiana;Skripsi; Kajian Arsitektur Tradisional Sunda, ITB). Atau dilihat dari sudut Geologi Bumi, daerah yang datar tersebut sangat aman bila terjadi gempa bumi, gunung meletus atau terjadinya tanah longsor sehingga sangat mudah menyelamatkan diri ? Atau dilihat dari sudut kepentingan militer lebih mudah menggerakan armada militernya ke segala arah, karena sarana dan mobilitas angkatan perang akan lebih cepat digerakan, karena kemudahan topografi daerahnya yang datar, berbeda apa bila ibu kota kerajaan berada di tempat pengunungan maka sangat susah mobilitasnya ? Atau dilihat dari sudut kepentingan agama lebih mudah dan kokoh dalam suatu mendirikan bangunan suci tempat melakukan ibadah bila di tempat yang rata ? Atau dilihat dari Ilmu Sosiologi, agar penguasa lebih mudah menggerakan rakyatnya apa bila raja ada kepentingan yang mendadak, karena konsentrasi penduduk berada dalam suatu lokasi yang terpusat dan datar, sehingga mudah untuk dikumpulkan apabila raja mau mengumumkan, mensosiaisasikan dan mengkomunikasikan suatu perintah atau maxlumat kepada rakyatnya ? Atau dari sistem pola hunian yang sudah direncanakan dengan master plan yang sangat matang dengan melihat ke masa yang akan datang agar pola hunian lebih tertata rapi mengingat daerahnya merupakan pedataran yang luas, sehingga tata ruang hunian tempat tinggalnya tidak acak-acakan seperti pola hunian masyarakat modern terutama di kota-kota besar ? Saya yakin, bahwa raja telah mempertimbangkan kesemuanya itu untuk menyelamatkan keluarga dan rakyatnya dalam membangun sebuah ibu kota kerajaan, tidak semata-mata hanya membuat begitu saja. Penuh dengan pertimbangan yang sangat matang apa lagi harus kita akui pada waktu itu unsur kekuatan supra natural manusia mempunyai peranan yang cukup penting dalam setiap proses kehidupan, tidak hanya yang bersifat rasional. Bahkan manusia sekarangpun masih banyak yang mempergunakan unsur supra natural untuk kesuksesan hidupnya. Yang jelas kesemuanya itu saling berkaitan dan berhubungan, karenanya perlu penelitian yang lebih mendalam dan terintegrasi dari berbagai sudut disiplin ilmu pengetahuan untuk menjawab secara akurat dalam upaya untuk menggambarkan aktivitas kehidupan masa lampau dari tumbuh dan berkembangnya pusat peradaban berupa sebuah kerajaan. Apa bila hal ini bisa kita gambarkan dengan jelas, tepat dan akurat, maka semuanya akan terang-benderanglah sejarah peradaban Bangsa Indonesia yang gilang-gemilang dimasa lalu tersebut. Tetapi untuk membuka tabir tersebut diperlukan para ilmuwan  “ weruh sadurung winarah, para bujangga nu rancage hate “  supaya hasilnya ketika dipublikasikan kepada masyarakat luas akan  “ dibuka pating haleuang, dibuka pating daleungdang (Bubuka Rajah Lutung Kasarung)  sangat memuaskan untuk menggambarkan secara utuh, tidak terpotong-potong.

1.     Prasasti Ciaruteun.

Prasasti Ciaruteun yang dulunya berada di Sungai Ciaruteun, (seperti terlihat dalam lukisan, ketika masih berada di Sungai Ciaruteun) oleh  pemerintah kemudian diangkat ke darat untuk mengamankan tulisannya yang tertera dalam batu yang beratnya menurut Pak Atma kurang lebih sekitar 8 ton seperti terlihat di sini. Namun sebelum diangkat ke darat, di atas batu Prasasti Ciaruteun itu sudah ada tulisan dari tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab akan hasil karya dokumentasi sejarah bangsa, sehingga mencederai dan melukai hasil karya itu sendiri. Sungguh amat sangat disayangkan, bahwa peninggalan yang sangat begitu berharga sekali bagi peadaban bangsa harus ternoda oleh orang-orang iseng. Dan kesalahan pemerintahpun pada waktu, mengapa tidak bertindak cepat untuk mengamankannya.







 Seperti yang terlihat di foto ini, Prasasti Ciaruteun sudah diangkat ke darat dan disimpan memakai cungkup supaya lebih aman.




 Adapun tulisan yang tertera di batu tersebut yaitu, seperti yang terlihat dalam foto ini.







Ini tulisan Prasasti Ciaruteun bagian inkripsi B, yang menurut para ahli sejarah sampai sekarang belum bisa dibaca, apa tulisan maupun maknanya.










2.     Prasasti Kebon Kopi.

Prasasti Kebon Kopi terletak di atas dataran Kampung Muara yang menurut cerita Pak Atma, ketika Belanda hendak membuat areal kebun kopi menemukan puncak sebuah batu yang ketika digali ternyata ada sepasang telapak kaki gajah dengan sebaris tulisan diantara gambar telapak kaki gajah tersebut. Seperti yang terlihat difoto ini.



Tetapi tulisan diantara dua telapak kaki gajah itu sudah tidak terbaca, karena sudah aus, apa lagi seperti telihat digambar atas banyak tangan yang sedang memegang Prasasti Kebon Kopi, ditambah kemungkinan bahan batu untuk pembuatan Prasasti Kebon Kopi tidak sebagus bahan batu Prassti Ciaruteun yang terlihat sangat keras sekali. Ditambah lokasi Prasasti Kebon Kopi berada di halaman Sekolah Dasar Muara, dimana banyak anak-anak yang sewaktu istirahat bisa saja tanpa pengawasan gurunya melompati pagar pengaman Prasasti Kebon Kopi, apa lagi kalau ada anak yang nakal, kemudian tanpa sepengetahuan gurunya membawa logam tajam untuk iseng mencoret-coret batu Prasasti Kebon Kopi.

3.     Prasasti Batu Dakon.
Prasasti Batu Dakon yang terdiri dari dua buah menhir dan dua buah dolmen. Di atas batu dolmen itu banyak lobang-lobang seperti lobang-lobang dalam permainan congklak. Seperti terlihat digambar ini.

Prasasti Batu Dakon ini lebih mirip kepada corak kebudayaan Jaman Megalitikum (Sartono K dkk; Sejarah Nasinal Indonesia jilid I), tidak kepada Jaman Aksara. Tetapi juga tidak menutup kemungkinan, bahwa mungkin Batu Dakon itu semacam tempat permainan anak-anak raja Tarumanagara, semacam kalender penanggalan, tempat raja bertapa atau tempat tanda dimulainya pembuatan prasasti, atau apa saja yang berhubungan dengan upacara agung yang dilaksanakan di Tarumanagara. Yang jelas Batu Dakon itu sebagai sesuatu yang bermakna pada masa itu. Yang jadi pertanyaannya, apa hubungan Batu Dakon dengan Prasasti Ciatuteun, Prasasti Kebon Kopi dan Prasasti Muara Cianten ? Apakah Batu Dakon itu sebagai tanda, bahwa nenek moyang Raja Purnawarman berasal dari daerah Kampung Muara dan untuk mengenang asal muasal nenek moyang Raja Purnawarman itu, kemudian Raja Purnawarman membuat peringatan prasasti di daerah asal mula nenek moyangnya atau kabuyutan ? Atau daerah Kampung Muara itu begitu penting bagi Raja Purnawarman, sehingga begitu pentingnya daerah itu bagi Raja Purnawarman sampai-sampai harus mengeluarkan tiga buah maxlumat sekaligus ? Kalau begitu, ada apa di daerah tersebut, sehingga Raja Purnawarman seolah-olah harus melindunginya dengan mengeluarkan tiga buah maxlumat sekaligus ? Dan Raja Purnawarman mengeluarkan tiga buah maxlumat itu sekaligus tentu dengan pemikiran yang sangat matang dengan penuh perhitungan dan berbagai pertimbangan, tidak hanya asal-asalan mengeluarkan maxlumat begitu saja. Setiap membaca buku sejarah yang berisi tentang Kerajaan Tarumanagara, selalu memberitakan peninggalan Kerajaan Tarumanagara ada 7 buah prasasti, yaitu : Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Cidangiang/Munjul, Prasasti Jambu/Koleangkak, Prasasti Pasir Awi dan Prasasti Tugu. Dari ke-7 prasasti itu, cuma satu prasasti saja yang ditemukan lokasinya di dekat pantai, yaitu Prasasti Tugu, yang 6 buah prasasti lainnya ditemukan jauh dari pantai utara P. Jawa. Sementara kalau kita lihat dalam buku sejarah, Prasasti Tugu itu menceritakan tentang pembuatan Kali Gomati, tidak menceritakan tentang kekuasaannya, bahkan kalau disimpulkan Prasasti Tugu ini lebih berifat tujuan ekonomi kesejahteraan, sebab diakhir kalimat ada kata-kata “disertai persembahan 1000 ekor sapi”. Beda dengan Prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi dan Jambu yang lokasinya berada jauh dari pantai utara P. Jawa selalu disertai “inilah telapak kakinya….”. Mengapa Raja Purnawarman membuat isi prasasti-prasasti yang jauh dari pantai selalu diikuti dengan dengan kata-kata “inilah telapak kakinya…”. Kata-kata “inilah telapak kakinya…” sepertinya menggambarkan kekuasaan politik Raja Purnawarman untuk daerah-daerah yang jauh dari pantai utara, bahwa daerah-daerah di selatan sepertinya sangat begitu penting dan sangat berharga sekali bagi Raja Purnawarman. Apa benar daerah-daerah selatan itu begitu penting dan sangat berharga bagi Raja Purnawarman ? Kalau daerah-daerah selatan begitu penting dan sangat berharga bagi Raja Purnawarman, sebenarnya ada apa di daerah-daerah selatan itu, sampai-sampai Raja Purnawarman harus mengeluarkan maxlumat yang selalu diikuti oleh kata-kata “inilah telapak kakinya….” ? Atau ada peristiwa penting apakah di daerah itu, sehingga Raja  Purnawarman harus mengeluarkan tiga buah prasasti sekaligus ? Atau memang daerah itu merupakan daerah Kabuyutan Raja Purnawarman, sehingga Raja Purnawarman harus mengeluarkan tiga buah prasasti sekaligus untuk melindunginya ? Mudah-mudahan para sejarahwan bisa memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi. Dan yang paling penting, agar penelitian tentang Kerajaan Tarumanagara ini lebih diperdalam supaya tuntas dan jelas, supaya masa kegelapan sejarah perjalanan peradaban bangsa kita bisa lebih terang dan jelas untuk kemajuan bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai dan menghormati karya-karya gemilang hasil peradaban para leluhurnya dan selalu diingat akan sejarah perjalanan bangsa, jangan sekali-kali melupakan sejarah, demikian kata Bung Karno.
      Demikian tulisan ini, mudah-mudahan menjadi motivasi bagi kita semua untuk terus belajar dari sejarah, dan yang paling penting bagi para sejarahwan selaku peneliti sejarah dan pemerintah selaku pemegang kebijakan politik pendidikan untuk lebih memelihara situs-situs peninggalan sejarah bangsa agar jangan terlalu pelit memberikan dana pemeliharaan kepada sirus-situs sejarah yang sangat berharga sekali. Usul saya, bagaimana kalau di Kampung Muara itu dibangun Musium Situs Kabuyutan Tarumanagara atau Purnawarman, sebelumnya prasasti-prasasti itu dikumpulkan dahulu menjadi satu areal lokasi untuk menyelamatkan keberadaan batu-batu prasasti itu ? Rasanya sangat menguntungkan sekali dilihat dari segi pemeliharaanya yang mudah, karena terkumpul dalam satu ruangan musium, juga bisa terkontrol setiap saat, karena berada dalam satu tempat saja. Selain itu dengan adanya Musium Situs Kabuyutan Tarumanagara yang berlokasi di Kampung Muara akan berdampak baik secara sosial maupun ekonomi. Dampak sosialnya, masyarakat setempat merasa bertanggung jawab terhadap peninggalan Kerajaan Tarumanagara, karena merasa memiliki untuk tetap memeliharanya, keduanya; masyarakat di Kampung Muara merasa dilibatkan dan diikutkan dalam pemeliharaan peninggalan Kerajaan Tarumanagara, sehingga timbulah partisipasi aktif dari masyarakat serta tidak mesara terpinggirkan. Secara ekonomi dengan dibangunnya Musium Situs Kabuyutan Tarumanagara akan menambah objek pariswisata semakin ramai dan hal ini menjadi motivasi masyarakat Kampung Muara untuk berinovatif membuat semacam souvenir atau oleh-oleh ciri khas dari Kampung Muara, akibatnya timbulah ekonomi kreatif  masyarakat setempat yang tentunya akan menambah penghasilan bagi masyarakat Kampung Muara. Bukankah hal demikian ini sangat menguntungkan untuk kita semua ? Adapun pembuatan musiumnya dengan pola arsitektur budaya Sunda Kuno seperti pembuatan Bumi Ageung dalam masayarakat kampung adat, yang lebih cocok mungkin dengan meniru desain Bumi Ageung Kampung Adat Cipta Gelar, karena lebih dekat jaraknya dari Kampung Muara, juga sama-sama berada di wilayah barat Tatar Pasundan. Sudah saatnya kita mengimplementasikan visi, misi leluhur kita, tanpa harus ikut terkontaminasi budaya luar yang bersifat materialistis yang tidak punya ruh peradaban dan itulah jati diri bangsa kita dengan kearifan lokalnya yang membedakan dari bangsa lain. Ciri jati diri yang mandiri akan membuat kita disegani dan dihormati, karena kita tidak terjebak ke dalam modernisasi materialistis, tetapi kita lebih modernisasi konsep jati diri dan itu lebih bermakna. Sementara itu, situs-situs yang ada harus dimaksimalkan pemeliharaannya, karena dari situs-situs sejarah itulah perjalanan bangsa ini dimulai sampai sekarang ini sehingga membentuk suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercinta ini.
     

Rabu, 03 April 2013

GUHA WULUNG (Sejarah Cineam Tasikmalaya)


Guha Wulung (Guha : Bahasa Sunda} terletak di Kampung Warung Legok Desa Cijulang Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. Guha Wulung ini sampai sekarang masih merupakan suatu misteri yang belum terpecahkan, karena belum ada yang menelitinya secara ilmu pengetahuan, dikarenakan kurangnya informasi kepada khalayak umum terutama kepada mereka yang suka berpetualang ke goa-goa.
Nama Guha Wulung erat sekali kaitannya dengan nama Cineam yang merupakan salah satu nama kecamatan yang ada di wilayah administratif Kabupaten Tasikmalaya yang letaknya sebelah timur berbatasan langsung dengan wilayah administratif  Kabupaten Ciamis. Pada jaman dahulu ketika nama kabupaten masih bernama Kadaleman (Bahasa Sunda), Dalem (bupati) Sukapura (Tasikmalaya sekarang) suka sekali berburu uncal (kijang dalam Bahasa Indonesia) yang waktu itu Dalem Sukapura bernama Raden Tumenggung Anggadipa yang bergelar Tumenggung Wiradadaha IV (Dalem Sawidak), ingin sekali berburu kijang di daerah Kadaleman Nagara Tengah. Dimana Cineam termasuk wilayah Kadaleman Nagara Tengah yang baru saja diserahkan oleh Raden Adipati Aria Anggapraja Dalem Galuh Imbanagara (Kabupaten Ciamis sekarang) sekitar tahun 1676-an kepada Kadaleman Sukapura. Dalem Sukapura menanyakan kepada Tukang Bitur (ahli berburu kijang) dimana yang banyak kijang untuk diburu. Tukang Bitur kemudian menanyakan kepada orang Nagara Tengah, katanya banyak kijang itu di daerah Cineang. Karena Tukang Bitur salah mendengarkan nama Cineang yang kemudian melaporkannya kepada Dalem Sukapura nama Cineang (Ci berarti sungai, Neang berartinya mendatangi kembali) menjadi Cineam, maka nama Cineam dipakai sampai sekarang . Benar saja ketika Dalem Sukapura dan rombongannya hendak berburu kijang banyak sekali kijang yang sedang minum air di sebuah selokan kecil disebuah batu, bahkan batu tempat minum kijang-kijang itu sampai berbekas. Ketika kijang-kijang itu minum di Cineang dipimpin oleh seekor kijang jantan besar yang berwarna Wulung (warna hitam kecoklatan dalam Bahasa Indonesia), dan ketika kijang-kijang itu hendak diburu oleh para pemburu Dalem Sukapura, kijang-kijang yang dipimpin oleh Si Wulung itu berlarian ke suatu tempat yang aman yaitu sebuah goa yang berada di Kampung Warung Legok Desa Cijulang, maka sampai sekarang goa itu dinamakan Guha (Goa) Wulung, goa tempat Si Wulung bersembunyi dari para pemburu kijang Dalem Sukapura.
Guha Wulung masih menyimpan banyak misteri, dikatakan misteri karena sampai sekarang masih menyimpan berbagai dugaan dan prasangka, baik yang bersifat mistis maupun yang bersifat logis.
Secara geologis dan topografis wilayah Kecamatan Cineam merupakan dataran yang bergelombang dengan pengunungan yang rendah dengan puncak tertingginya tidak lebih dari 1200 m dpl, terdiri dari batuan granit, kapur dan tanah laterit, sehingga wilayah Cineam boleh dikatakan sangat sulit mencari air bila musim kemarau. Dengan kondisi alam seperti itu, terutama dengan adanya batuan kapur, maka ada sekelompok masyarakat kecil yang menambang batu kapur untuk dimanfaatkan secara ekonomis yaitu di daerah Guha Wulung di Warung Legok di dekat goa tersebut.
Kemisteriusan Guha Wulung sering diceritakan oleh orang tua dahulu, bahwa pernah ada seekor lubang (sejenis belut dalam Bahasa Sunda) yang sangat besar sebesar pohon kelapa yang keluar dari dalam Guha Wulung. Kebenaran cerita itu mungkin saja benar mengingat di daerah Guha Wulung banyak sekali lobang-lobang yang secara aneh tiba-tiba keluar air, kemudian air itu menghilang lagi masuk ke dalam lobang dengan meninggalkan banyak ikan, sehingga memungkinkan hewan itu hidup dan terus tumbuh dengan besar mengingat banyak persediaan ikan sebagai makanannya. Lobang-lobang itu nampaknya semacam lorong tembusan dari gua induk yang berada di dalam perut bumi. Beberapa orang bahkan pernah masuk ke dalam Guha Wulung, tetapi tidak dilanjutkan karena tidak ada keberanian dari penduduk setempat mengingat akan cerita orang tua dan juga tidak membawa peralatan seperti para penelusur goa yang professional, kalaupun membawa tambang yang panjang, tetapi ternyata dasar goa itu sangat dalam sehingga kembali lagi, yang ternyata di dalamnya sangat gelap dan terdengar suara bergemuruh air seperti ada sebuah sungai yang mengalir di dalam perut bumi. Bahkan banyak pohon kelapa dan pohon besar lainnya yang berada di dalam Guha Wulung itu berserakan di dalamnya, bahkan ada yang berdiri. Mungkinkah itu sebuah sungai yang berada di perut bumi ? Perlu penelitian dan penelusuran yang mendalam dan berani mengenai Guha Wulung.
Kemisteriusan Guha Wulung - karena sebenarnya awal goa itu berawal dari daerah mana ? Mungkinkah dari daerah Anteg yang berada di wilayah Kecamatan Salopa ? Daerah Anteg ini jaraknya dari Guha Wulung kurang lebih 17 km. Anteg ini terletak di atas gunung dan di Anteg ini ada sebuah goa yang menerobos bumi menuju ke timur laut ke daerah Cikareo di Kecamatan Manonjaya. Di Cikareo ini ada sebuah goa bernama Guha Lalay yang di dalam goa itu ada situ (kolam besar) yang jaraknya dari Anteg kurang lebih 10 km. Air di dalam kolam Guha Lalay itu mengalir kearah timur menuju pesawahan Cielut di Desa Cijulang. Di pesawahan Cielut (nama Cielut mungkin berasal dari nama belut yang suka membuat lobang di sawah atau di kolam) banyak ditemukan lobang-lobang yang seperti di Guha Wulung. Jarak dari Guha Lalay di Cikareo ke Cielut kurang lebih 5 km. Dari daerah Cielut tembusan goa itu menuju kearah timur persis tepat ke Guha Wulung jang berjarak kurang lebih 2 km dari Cielut. Bila benar demikian, ada pembuktian yang kiranya erat hubungannya dengan komplek Guha Wulung yaitu para penduduk Warung Legok bila membuat sumur tidak ada airnya walaupun sumur itu dalam sekalipun, seolah-olah air itu terserap ke dalam komplek goa yang tepat berada di bawah Kampung Warung Legok. Di daerah Guha Wulung ada Sungai Cihapitan yang mengalir menuju Sungai Ciseel. Seharusnya air yang ada di Guha Wulung itu mengalir ke Sungai Cihapitan, tetapi kenyataan tidak demikian, karena tidak ditemukan tembusan air dari Guha Wulung ke Sungai Cihapitan. Kemanakah sungai yang ada di Guha Wulung itu bermuara ? Tepat ke sebelah timur dari Guha Wulung yang berjarak kurang lebih 5 km ada daerah tanah amblas ke perut bumi dan banyak lobang-lobang seperti di Guha Wulung, bahkan ada kolam yang airnya seperti berwarna kehitaman menandakan dalamnya kolam itu. Daerah amblas itu bernama Kampung Pasir Nangka di Desa Ciwarulang Kecamatan Cineam, dimana tanah amblas di Pasir Nangka itu hampir satu hektar lebih masuk ke perut bumi, malah pohon duren yang sangat besarpun turut amblas tidak terlihat daun pucuknya yang paling atas sekalipun. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 1963-an. Dari Pasir Nangka tanah amblas itu terus menuju ke arah timur yang  berjarak kurang lebih 3 km tepat di daerah Cidamar Kecamatan Cidolog Kabupaten Ciamis, dari Cidamar tanah amblasan itu terus menuju ke arah timur yang berjarak kurang lebih 4 km yaitu ke daerah Ranca Bungur. Di daerah Ranca Bungur Kecamatan Cidolog Kabupaten Ciamis amblasan tanah itu berhenti tidak ada lagi. Kemanakah tembusan tanah amblas itu berakhir ? Mungkinkah ke daerah Sagara Anakan daerah pertemuan Sungai Citanduy dengan Samudera Hindia ? Mengapa demikian ? Karena antara Sagara Anakan dengan Kalipucang Kabupaten Ciamis ada pusaran air di wilayah Majingklak yang masih berada di wilayah Kalipucang, yang kadang-kadang air itu sendiri membludak ke permukan dan menuju langsung ke laut lepas dan orang kalau sudah masuk pusaran air itu tidak bisa diketemukan lagi jasadnya. Dari Ranca Bungur ke Majingklak itu mungkin berjarak 70 km. Jika perkiraan ini benar, maka tembusan Guha Wulung itu merupakan sebuah sungai yang berada di perut bumi yang berawal di daerah Anteg Kecamatan Salopa dan berakhir di daerah Majingklak Kalipucang yang jaraknya kurang lebih 100 km, dan bila perkiraan ini benar, maka dapat dipastikan Guha Wulung merupakan suatu komplek perpaduan antara goa dengan sungai di bawah tanah dan ini merupakan hal spektakuler yang misterius, penuh dengan kengerian. keanehan dan mungkin panorama perut bumi yang menakjubkan melebihi Goa Esa A’la, goa terbesar di dunia yang berada di Papua Nugini atau lebih mendebarkan dari Film Sanctum yang mengisahkan tentang petualangan ke perut bumi melalui goa tersebut yang berakhir di Samuera Pasifik, bahkan mungkin Guha Wulung ini merupakan salah satu goa terpanjang di Indonesia.
Dengan adanya informasi ini, mudah-mudahan misteri Guha Wulung yang sudah ada sejak ratusan ribu tahun dapat terpecahkan dan menarik minat para petualang goa untuk memecahkan misterinya sekaligus menelusurinya. Dimana untuk masa ke depannya dapat dijadikan daerah objek wisata goa yang menarik yang bisa mendatangkan kesejahteraan masyarakat Kecamatan Cineam melalui ekonomi materi berupa uang yang bermanfaat dan bermaslahat di dunia dan akherat.  Amin.