SITUS KABUYUTAN KERAJAAN TARUMANAGARA
Kiriman
: Yudi Kusmayadi.
Judul tulisan ini bagi sebagian orang
sudah tidak asing lagi, bahkan mungkin basi, karena hampir sebagian besar sudah
mengenal Kerajaan Tarumanagara yang merupakan salah satu kerajaan tertua di
Indonesia yang berdiri tahun 358 - 669. Tidak ada yang aneh baik dari isi
tulisannya maupun gambar-gambarnya ataupun sesuatu hal-hal yang baru tentang
apa yang ditinggalkan dari peninggalan Kerajaan Tarumanagara. Tetapi walaupun
demikian, tidak ada salahnya bagi kita untuk mengingat kembali Pelajaran
Sejarah kita tentang kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang pernah ada di negara
tercinta kita Indonesia. Dan ternyata, ketika melihat dan mengunjungi obyek
situs bersejarah, seperti mengunjungi situs peninggalan Kerajaan Tarumanagara
yaitu : Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi maupun Prasasti Muara Cianten,
sungguh sangat mengasyikan dan menyenangkan, selain menambah wawasan ilmu
pengetahuan kita tentang sejarah peradaban bangsa kita yang ternyata dimasa
lalu peradaban bangsa kita telah menghasilkan maha karya yang sangat
gilang-gemilang.
Ketika
saya berkunjung ke Kampung Muara Desa Ciaruteun Hilir Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor pada hari Kamis tanggal 18 Desember 2014, di Kampung Muara tersebut
ada 3 prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara yaitu ; Prasasti Ciaruteun,
Prasasti Kebon Kopi dan Prasasti Muara Cianten. Tetapi Prasasti Muara Cianten
tidak bisa dilihat karena berada di dalam sungai yang kebetulan air Sungai
Ciaruteun sedang besar, karena sedang musim penghujan. Dan satu lagi
peninggalan masa pra sejarah yaitu Prasasti Batu Dakon yang berupa menhir atau
tugu batu dan dua buah dolmen atau meja batu yang berlobang seperti
lobang-lobang dalam permainan congklak.
Tulisan
saya ini bukanlah hendak membahas tentang apa yang telah dibahas oleh para ahli
sejarah, apa lagi hal ini menyangkut Kerajaan Tarumanagara yang merupakan salah
satu kerajaan tertua di Indonesia. Apa lagi Sejarah
Kerajaan Tarumanagara telah merupakan bagian dari isi
Pembelajaran Sejarah yang dimulai dari tingkat pendidikan dasar sampai ke
tingkat pendidikan tinggi. Saya hanya berusaha untuk sekedar mengingatkan
kembali kepada semuanya, bahwa di daerah
Jawa Barat ada peradaban tua yang
harus kita pelihara dan kita lestarikan bersama peninggalannya untuk anak cucu
kita dimasa yang akan datang, agar anak cucu kita tidak kehilangan kebesaran
para leluhurnya dan supaya anak cucu kita bisa belajar, memahami dan menghargai hasil karya-karya
besar yang gilang-gemilang dari para pendahulunya. Tetapi lebih merupakan suatu
keheranan bagi saya tentang situs peninggalan dari Kerajaan Tarumanagara,
terutama dilihat dari segi pemeliharaan situsnya yang saya lihat sangat jauh
sekali dari pemeliharaan yang maksimal, terutama dari pihak pemerintah dalam
hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bagian Dinas Kepurbakalaan. Sungguh
sangat disayangkan. Alangkah baiknya Prasasti Ciaruteun dan Kebon Kopi itu
diberi pagar di dekat batunya agar tidak terlalu sering dipegang atau diraba
oleh tangan, terlalu sering dipegang dan diraba oleh tangan lambat laun
permukaan batu prasasti itu akan rusak, karena bagaimanapun juga telapak tangan
itu mengeluarkan keringat yang mengandung kadar keasaman yang tinggi, sehingga
bisa menghancurkan permukaan batu yang ada tulisannya. Terlebih lagi kepada
yang ditugaskan untuk menjaga warisan bangsa tersebut, supaya lebih
diperhatikan lagi kesejahteraannya, bukan hanya tenaganya saja. Kalau sudah rusak tinggalah penyesalan yang
tidak berguna. Apa lagi Prasasti Kebon Kopi yang lokasinya di halaman SD Muara,
yang para siswanya masih anak-anak belum mengerti betul tentang arti
peninggalan sebuah prasasti. Kemudian kapan Prasasti Muara Cianten bisa
diangkat dari dalam sungai ? Nanti kalau Prasasti Cianten itu sudah menjadi
serbuk pasir ? Padahal jaman sekarang semua peralatan berat dengan kemajuan
teknologi tidak ada yang tidak mungkin dan mustahil seberat apapun batu itu dan
sesulit apapun bisa diusahakan untuk diangkat. Bagaimana nih para pemangku
kebijakan pendidikan dan kebudayaan aksi nyatanya yang akan dilakukan ? Bukan cuma
urusan proyek uang saja yang bisa dilakukan ! Apapun caranya Prasasti Muara
Cianten harus cepat diselamatkan ! Padahal Situs Kabuyutan Tarumanagara
tersebut meninggalkan Prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi dan Muara Cianten yang merupakan
cikal bakal “tulisan wiwitan” bagi Bangsa Indonesia umumnya dan khususnya bagi
orang Sunda untuk pertama kalinya bisa menulis dan membaca serta
mendokumentasikan segala peristiwa kehidupannya kedalam bentuk tulisan. Orang
kalau punya hal yang sangat istimewa
untuk pertama kalinya, maka akan
dipelihara sebaik-baiknya, karena merupakan moment yang sangat penting dalam
kehidupannya. Apa lagi ini merupakan cikal bakal tulisan dimana Bangsa
Indonesia telah memulai dan memasuki jaman melek aksara/huruf, sehingga mampu
menuliskan berbagai peristiwa kehidupan yang sangat penting kedalam bentuk
suatu dokumen bersejarah untuk diinformasikan agar diketahui oleh anak cucunya
dikemudian hari, bahwa para founding fathers leluhur bangsa kita telah mampu
memberikan pijakan dasar yang kuat untuk generasi berikutnya mengenai cara kehidupan
bermasyarakat, bernegara, berkebudayaan dan berperadaban. Juga telah mampu
memberikan informasi peristiwa kehidupannya yang bersejarah untuk diketahui, dipelajari,
diteladani, direnungkan, dipikirkan, disikapi, dimaknai, diimplementasikan,
disosialisasikan dan dilaksanakan bagaimana caranya memecahkan suatu persoalan
dengan bijaksana dan adil, serta mempunyai kewibawaan dari penguasanya dan dengan
tingkat loyalitas masyarakatnya yang tinggi terhadap pemimpinya tanpa
meninggalkan kebebasan ketertiban yang sudah terbina dan tertata rapi. Sehingga
untuk kita yang hidup dimasa kini harus banyak belajar dari leluhur kita
tentang bagaimana cara hidup bermasyarakat dan bernegara yang baik dan
bertanggung jawab tanpa saling rasa curiga dan permusuhan, tetapi penuh dengan
kedamaian dan harmonisasi serta menghasilkan
karya nyata yang berguna dan gemilang. Sikap
gotong-royong, kerja sama, ketaatan terhadap hukum, tanggung-jawab dan berbagai
bentuk kehidupan moralitas sosial lainya yang kesemuanya diabdikan untuk suksesnya
komunitas kehidupan leluhur kita melalui terbentuknya sebuah tatanan politik
berupa sebuah negara atau kerajaan. Dan ini harus kita tiru dan patut untuk dicontoh
oleh kita yang hidup di masa sekarang demi kemajuan bersama sebagai suatu
bangsa yang beradab. Sebab bila melihat dari kehidupan masyarakat kita
sekarang, rasanya kita kembali ke jaman jahiliyah yang penuh dengan perbuatan
intrik kehidupan barbarisme dan kanibalisme dalam berbagai bidang kehidupan. Sadar
atau tidak, bahwa pada kenyataanya perbuatan kita bila dibandingkan dengan
kehidupan mereka dulu, perbuatan kita sekarang banyak yang tidak didasari oleh
akal pemikiran yang sehat. Pada hal katanya, kita mengaku sebagai manusia modern, tetapi modern
dalam bentuk materi bukan dalam bentuk moralitas. Justru leluhur kitalah
moralitasnya lebih modern dari kita, baik dari visi, misi maupun tujuannya kehidupannya. Dari situlah
kita harus belajar banyak. Dan karena itu belajar sejarah merupakan satu
keharusan untuk kita, karena sejarah menyajikan fakta dan data peristiwa
kehidupan manusia dimasa
lalu, dimana baik-buruk, benar-salah sudah jelas tergambar dan terekam, tinggal
kita memilih dan memilahnya mana yang akan kita gunakan dan kita pilih. Dan
sejarah juga mempunyai maksud, fungsi dan tujuan yang diantaranya salah satu
fungsi sejarah yaitu memberikan arahan yang benar agar kejadian yang salah
tidak terulang kembali (Ismaun;Mengerti Sejarah). Karenanya mengapa kita harus
belajar dari sejarah, karena sejarah merupakan guru dalam kehidupan, agar kita
tidak mengulangi kesalahan lagi dimasa yang akan datang dengan bercermin dari
kejadian dimasa yang lalu. Sangat tepat bila Bung Karno mengatakan, bahwa kita
jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Bila
saya lihat dan mengamati keadaan tofografi Kampung Muara yang dulunya bernama
Kampung Korodok menurut Bapak Atma selaku pengurus ke empat prasasti itu,
terlihat jelas Kampung Muara yang berada di ujung pertemuan Sungai Ciampea dengan
Sungai Ciaruteun, keadaan topografi daerahnya yang mendatar dan memanjang segi
tiga, sangat cocok untuk membuat semacam perkampungan terutama untuk membuat
perkampungan adat semacam perkampungan adat Cipta Gelar di Sukabumi, Kampung
Naga di Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis, Kampung Dukuh di Garut dan masih
banyak lagi kampung adat lainnya yang ada di Tatar Pasundan. Bahkan kalau
dilihat, Kampung Muara hampir persis sama dengan lokasi Karang Kamulyan di
Cisaga Kabupaten Ciamis tempat dimana bertemunya Sungai Citanduy dengan Sungai
Cimuntur. Tempat Ciung Wanara atau Sang Manarah. Dari persamaan tempat
tersebut, kiranya dapat mengajukan suatu pertanyaan. Mengapa harus ada pola
persamaan antara Karang Kamulyan yang berada di Tatar Pasundan Timur dengan
Kampung Muara yang berada di Tatar Pasundan Barat dan kebetulan kedua tempat
tersebut merupakan situs bersejarah ? Padahal kedua situs tersebut mempunyai
jarak waktu dan tempat yang cukup jauh. Situs Kabuyutan Tarumanagara sekitar
abad ke 5, sedangkan Situs Kabuyutan Karang Kamulyan sekitar abad ke 8.
Sebenarnya ketika para penguasa membuat tempat kabuyutan tersebut mempunyai
visi, misi dan tujuan apa, sehingga dipilihlah tempat seperti itu ? Apakah
semata-mata karena dikedua tempat tersebut karena ada dua sungai besar bertemu,
dimana di daerah itu ada air yang melimpah ruah, karena air merupakan sumber
kehidupan ?(Teori challenge and respons dari Arnold Toynbe). Apakah dipilihnya
kedua tempat itu juga semata-mata karena kemudahan sarana transfortasi untuk
kepentingan ekonomi disebabkan ada aliran sungai besar ? Apakah dipilihnya
tempat tersebut dilihat dari sudut pandang politik sebagai daerah yang aman
untuk mengembangkan kekuasaan pemerintahan atau untuk lebih memudahkan
melarikan diri kalau kerajaan diserang musuh karena ada sungai besar atau justru sungai itu dilihat sebagai benteng
pertahanan ? Atau dilihat dari kajian Arsitektur Budaya supaya lebih mudah
membuat semacam Bumi Ageung tempat tinggal para penguasa/raja dan keluarganya memerintah, juga karena daerahnya datar/rata itu
menyediakan lahan perumahan bagi rakyatnya agar selalu dekat dengan rajanya ?(Diar
Risdiana;Skripsi; Kajian Arsitektur Tradisional Sunda, ITB). Atau dilihat dari
sudut Geologi Bumi, daerah yang datar tersebut sangat aman bila terjadi gempa
bumi, gunung meletus atau terjadinya tanah longsor sehingga sangat mudah
menyelamatkan diri ? Atau dilihat dari sudut kepentingan militer lebih mudah
menggerakan armada militernya ke segala arah, karena sarana dan mobilitas
angkatan perang akan lebih cepat digerakan, karena kemudahan topografi
daerahnya yang datar, berbeda apa bila ibu kota kerajaan berada di tempat
pengunungan maka sangat susah mobilitasnya ? Atau dilihat dari sudut
kepentingan agama lebih mudah dan kokoh dalam suatu mendirikan bangunan suci
tempat melakukan ibadah bila di tempat yang rata ? Atau dilihat dari Ilmu
Sosiologi, agar penguasa lebih mudah menggerakan rakyatnya apa bila raja ada
kepentingan yang mendadak, karena konsentrasi penduduk berada dalam suatu lokasi
yang terpusat dan datar, sehingga mudah untuk dikumpulkan apabila raja mau
mengumumkan, mensosiaisasikan dan mengkomunikasikan suatu perintah atau
maxlumat kepada rakyatnya ? Atau dari sistem pola hunian yang sudah
direncanakan dengan master plan yang sangat matang dengan melihat ke masa yang
akan datang agar pola hunian lebih tertata rapi mengingat daerahnya merupakan
pedataran yang luas, sehingga tata ruang hunian tempat tinggalnya tidak
acak-acakan seperti pola hunian masyarakat modern terutama di kota-kota besar ?
Saya yakin, bahwa raja telah mempertimbangkan kesemuanya itu untuk menyelamatkan
keluarga dan rakyatnya dalam membangun sebuah ibu kota kerajaan, tidak
semata-mata hanya membuat begitu saja. Penuh dengan pertimbangan yang sangat
matang apa lagi harus kita akui pada waktu itu unsur kekuatan supra natural
manusia mempunyai peranan yang cukup penting
dalam setiap proses kehidupan, tidak hanya yang bersifat
rasional. Bahkan manusia sekarangpun masih banyak yang mempergunakan unsur
supra natural untuk kesuksesan hidupnya. Yang jelas kesemuanya itu saling
berkaitan dan berhubungan, karenanya perlu penelitian yang lebih mendalam dan
terintegrasi dari berbagai sudut disiplin ilmu pengetahuan untuk menjawab
secara akurat dalam upaya untuk menggambarkan aktivitas kehidupan masa lampau
dari tumbuh dan berkembangnya pusat peradaban berupa sebuah kerajaan. Apa bila
hal ini bisa kita gambarkan dengan jelas, tepat dan akurat, maka semuanya akan
terang-benderanglah sejarah
peradaban Bangsa Indonesia yang gilang-gemilang dimasa lalu tersebut. Tetapi
untuk membuka tabir tersebut diperlukan para ilmuwan “ weruh sadurung winarah, para bujangga nu
rancage hate “ supaya hasilnya ketika dipublikasikan kepada masyarakat luas akan
“ dibuka pating haleuang,
dibuka pating daleungdang
“ (Bubuka
Rajah Lutung Kasarung) sangat memuaskan
untuk menggambarkan secara utuh, tidak terpotong-potong.
Prasasti
Ciaruteun yang dulunya berada di Sungai Ciaruteun, (seperti terlihat dalam
lukisan, ketika masih berada di Sungai Ciaruteun) oleh pemerintah kemudian diangkat ke darat untuk
mengamankan tulisannya yang tertera dalam batu yang beratnya menurut Pak Atma
kurang lebih sekitar 8 ton seperti terlihat di sini. Namun sebelum diangkat ke
darat, di atas batu Prasasti Ciaruteun itu sudah ada tulisan dari tangan-tangan
jahil yang tidak bertanggung jawab akan hasil karya dokumentasi sejarah bangsa,
sehingga mencederai dan melukai hasil karya itu sendiri. Sungguh amat sangat
disayangkan, bahwa peninggalan yang sangat begitu berharga sekali bagi peadaban
bangsa harus ternoda oleh orang-orang iseng. Dan kesalahan pemerintahpun pada
waktu, mengapa tidak bertindak cepat untuk mengamankannya.
Seperti yang terlihat
di foto ini, Prasasti Ciaruteun sudah diangkat ke darat dan disimpan memakai
cungkup supaya lebih aman.
Adapun tulisan yang tertera di batu tersebut
yaitu, seperti yang terlihat dalam foto ini.
Ini
tulisan Prasasti Ciaruteun bagian inkripsi B, yang menurut para ahli sejarah
sampai sekarang belum bisa dibaca, apa tulisan maupun maknanya.
Prasasti
Kebon Kopi terletak di atas dataran Kampung Muara yang menurut cerita Pak Atma,
ketika Belanda hendak membuat areal kebun kopi menemukan puncak sebuah batu
yang ketika digali ternyata ada sepasang telapak kaki gajah dengan sebaris
tulisan diantara gambar telapak kaki gajah tersebut. Seperti yang terlihat
difoto ini.
Tetapi
tulisan diantara dua telapak kaki gajah itu sudah tidak terbaca, karena sudah aus,
apa lagi seperti telihat digambar atas banyak tangan yang sedang memegang
Prasasti Kebon Kopi, ditambah kemungkinan bahan batu untuk pembuatan Prasasti
Kebon Kopi tidak sebagus bahan batu Prassti Ciaruteun yang terlihat sangat
keras sekali. Ditambah lokasi Prasasti Kebon Kopi berada di halaman Sekolah
Dasar Muara, dimana banyak anak-anak yang sewaktu istirahat bisa saja tanpa
pengawasan gurunya melompati pagar pengaman Prasasti Kebon Kopi, apa lagi kalau
ada anak yang nakal, kemudian tanpa sepengetahuan gurunya membawa logam tajam
untuk iseng mencoret-coret batu Prasasti Kebon Kopi.
Prasasti Batu Dakon yang terdiri dari
dua buah menhir dan dua buah dolmen. Di atas batu dolmen itu banyak
lobang-lobang seperti lobang-lobang dalam permainan congklak. Seperti terlihat
digambar ini.
Prasasti
Batu Dakon ini lebih mirip kepada corak kebudayaan Jaman Megalitikum (Sartono K
dkk; Sejarah Nasinal Indonesia jilid I), tidak kepada Jaman Aksara. Tetapi juga
tidak menutup kemungkinan, bahwa mungkin Batu Dakon itu semacam tempat
permainan anak-anak raja Tarumanagara, semacam kalender penanggalan, tempat
raja bertapa atau tempat tanda dimulainya pembuatan prasasti, atau apa saja
yang berhubungan dengan upacara agung yang dilaksanakan di Tarumanagara. Yang
jelas Batu Dakon itu sebagai sesuatu yang bermakna pada masa itu. Yang jadi
pertanyaannya, apa hubungan Batu Dakon dengan Prasasti Ciatuteun, Prasasti Kebon
Kopi dan Prasasti Muara Cianten ? Apakah Batu Dakon itu sebagai tanda, bahwa
nenek moyang Raja Purnawarman berasal dari daerah Kampung Muara dan untuk
mengenang asal muasal nenek moyang Raja Purnawarman itu, kemudian Raja Purnawarman
membuat peringatan prasasti di daerah asal mula nenek moyangnya atau kabuyutan
? Atau daerah Kampung Muara itu begitu penting bagi Raja Purnawarman, sehingga
begitu pentingnya daerah itu bagi Raja Purnawarman sampai-sampai harus
mengeluarkan tiga buah maxlumat sekaligus ? Kalau begitu, ada apa di daerah
tersebut, sehingga Raja Purnawarman seolah-olah harus melindunginya dengan
mengeluarkan tiga buah maxlumat sekaligus ? Dan Raja Purnawarman mengeluarkan
tiga buah maxlumat itu sekaligus tentu dengan pemikiran yang sangat matang
dengan penuh perhitungan dan berbagai pertimbangan, tidak hanya asal-asalan
mengeluarkan maxlumat begitu saja. Setiap membaca buku sejarah yang berisi
tentang Kerajaan Tarumanagara, selalu memberitakan peninggalan Kerajaan
Tarumanagara ada 7 buah prasasti, yaitu : Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon
Kopi, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Cidangiang/Munjul, Prasasti
Jambu/Koleangkak, Prasasti Pasir Awi dan Prasasti Tugu. Dari ke-7 prasasti itu,
cuma satu prasasti saja yang ditemukan lokasinya di dekat pantai, yaitu
Prasasti Tugu, yang 6 buah prasasti lainnya ditemukan jauh dari pantai utara P.
Jawa. Sementara kalau kita lihat dalam buku sejarah, Prasasti Tugu itu
menceritakan tentang pembuatan Kali Gomati, tidak menceritakan tentang
kekuasaannya, bahkan kalau disimpulkan Prasasti Tugu ini lebih berifat tujuan
ekonomi kesejahteraan, sebab diakhir kalimat ada kata-kata “disertai
persembahan 1000 ekor sapi”. Beda dengan Prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi dan
Jambu yang lokasinya berada jauh dari pantai utara P. Jawa selalu disertai
“inilah telapak kakinya….”. Mengapa Raja Purnawarman membuat isi
prasasti-prasasti yang jauh dari pantai selalu diikuti dengan dengan kata-kata
“inilah telapak kakinya…”. Kata-kata “inilah telapak kakinya…” sepertinya
menggambarkan kekuasaan politik Raja Purnawarman untuk daerah-daerah yang jauh
dari pantai utara, bahwa daerah-daerah di selatan sepertinya sangat begitu
penting dan sangat berharga sekali bagi Raja Purnawarman. Apa benar
daerah-daerah selatan itu begitu penting dan sangat berharga bagi Raja
Purnawarman ? Kalau daerah-daerah selatan begitu penting dan sangat berharga
bagi Raja Purnawarman, sebenarnya ada apa di daerah-daerah selatan itu,
sampai-sampai Raja Purnawarman harus mengeluarkan maxlumat yang selalu diikuti
oleh kata-kata “inilah telapak kakinya….” ? Atau ada peristiwa penting apakah
di daerah itu, sehingga Raja Purnawarman
harus mengeluarkan tiga buah prasasti sekaligus ? Atau memang daerah itu
merupakan daerah Kabuyutan Raja Purnawarman, sehingga Raja Purnawarman harus
mengeluarkan tiga buah prasasti sekaligus untuk melindunginya ? Mudah-mudahan
para sejarahwan bisa memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi. Dan yang
paling penting, agar penelitian tentang Kerajaan Tarumanagara ini lebih
diperdalam supaya tuntas dan jelas, supaya masa kegelapan sejarah perjalanan
peradaban bangsa kita bisa lebih terang dan jelas untuk kemajuan bangsa. Bangsa
yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai dan menghormati karya-karya
gemilang hasil peradaban para leluhurnya dan selalu diingat akan sejarah
perjalanan bangsa, jangan sekali-kali melupakan sejarah, demikian kata Bung
Karno.
Demikian tulisan ini, mudah-mudahan
menjadi motivasi bagi kita semua untuk terus belajar dari sejarah, dan yang
paling penting bagi para sejarahwan selaku peneliti sejarah dan pemerintah
selaku pemegang kebijakan politik pendidikan untuk lebih memelihara situs-situs
peninggalan sejarah bangsa agar jangan terlalu pelit memberikan dana
pemeliharaan kepada sirus-situs sejarah yang sangat berharga sekali. Usul saya,
bagaimana kalau di Kampung Muara itu dibangun Musium Situs Kabuyutan Tarumanagara
atau Purnawarman, sebelumnya prasasti-prasasti itu dikumpulkan dahulu menjadi satu
areal lokasi untuk menyelamatkan keberadaan batu-batu prasasti itu ? Rasanya
sangat menguntungkan sekali dilihat dari segi pemeliharaanya yang mudah, karena
terkumpul dalam satu ruangan musium, juga bisa terkontrol setiap saat, karena
berada dalam satu tempat saja. Selain itu dengan adanya Musium Situs Kabuyutan
Tarumanagara yang berlokasi di Kampung Muara akan berdampak baik secara sosial
maupun ekonomi. Dampak sosialnya, masyarakat setempat merasa bertanggung jawab
terhadap peninggalan Kerajaan Tarumanagara, karena merasa memiliki untuk tetap
memeliharanya, keduanya; masyarakat di Kampung Muara merasa dilibatkan dan
diikutkan dalam pemeliharaan peninggalan Kerajaan Tarumanagara, sehingga
timbulah partisipasi aktif dari masyarakat serta tidak mesara terpinggirkan. Secara
ekonomi dengan dibangunnya Musium Situs Kabuyutan Tarumanagara akan menambah
objek pariswisata semakin ramai dan hal ini menjadi motivasi masyarakat Kampung
Muara untuk berinovatif membuat semacam souvenir atau oleh-oleh ciri khas dari
Kampung Muara, akibatnya timbulah ekonomi kreatif masyarakat setempat yang tentunya akan
menambah penghasilan bagi masyarakat Kampung Muara. Bukankah hal demikian ini
sangat menguntungkan untuk kita semua ? Adapun pembuatan musiumnya dengan pola
arsitektur budaya Sunda Kuno seperti pembuatan Bumi Ageung dalam masayarakat
kampung adat, yang lebih cocok mungkin dengan meniru desain Bumi Ageung Kampung
Adat Cipta Gelar, karena lebih dekat jaraknya dari Kampung Muara, juga
sama-sama berada di wilayah barat Tatar Pasundan. Sudah saatnya kita mengimplementasikan
visi, misi leluhur kita, tanpa harus ikut terkontaminasi budaya luar yang
bersifat materialistis yang tidak punya ruh peradaban dan itulah jati diri
bangsa kita dengan kearifan lokalnya yang membedakan dari bangsa lain. Ciri
jati diri yang mandiri akan membuat kita disegani dan dihormati, karena kita
tidak terjebak ke dalam modernisasi materialistis, tetapi kita lebih
modernisasi konsep jati diri dan itu lebih bermakna. Sementara itu, situs-situs
yang ada harus dimaksimalkan pemeliharaannya, karena dari situs-situs sejarah
itulah perjalanan bangsa ini dimulai sampai sekarang ini sehingga membentuk suatu
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercinta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar